Pakar Terorisme dan Pakar Perang Asimetris Mengupas Tuntas Fenomena Perang Asimetris Dibalik Fenomena Radikalisme Terorisme

0

 

JAKARTA LENSA BAROMETER INDONESIA|| Sebuah Webinar yang diprakarsai oleh Gus Sholeh dari Agama Cinta, menghadirkan dua narasumber yang menguasai ranah Perang Asimetris, yaitu Brigjen Pol R. Ahmad Nurwakhid, Direktur Pencegahan dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme yang dikenal sebagai Pakar Terorisme, dan Ruly Rahadian yang dikenal sebagai Pemerhati dan Pakar Perang Asimetris pada (4/6/2022) yang lalu.

“Perang Asimetris ini adalah Perang spritual, makannya yang menjadi pemenangnya adalah yang memiliki cinta kasih.” ujar Brigjen Ahmad Nurwakhid, di awal sesi Webinar tersebut.

BACA JUGA:

Kompol Yatmo, SH. Kapolsek Lawang, Bergerak Cepat,Menekan Penyebaran PMK Hewan Ternak

 

Brigjen Ahmad Nurwakhid juga menjelaskan bahwa adanya relevansi dengan proxy ideology, yang berwujud radikalisme dengan terorisme, yang merupakan hal potensial pada diri manusia, tidak melihat suku, ras, agama, bahkan intelektual.

“Artinya, janin tidak bisa memilih dari suku apa, agama apa, dari etnis apa, artinya perbedaan itu adalah kehendak Tuhan. Itu skenarionya Tuhan.” Tegas Perwira Tinggi Polisi yang kerap dipanggil Gus Jenderal itu.

“Untuk bisa mengenal, saling menghormati, saling menghayati, saling memanusiakan diantara manusia, solusinya adalah harus memiliki rasa cinta atau spiritual yang unggul dalam diri manusia.” Jelas Brigjen Ahmad Nurwakhid lagi.

Menurut Brigjen Ahmad Nurwakhid, antitesa Perang Asimentris itu adalah membangun spiritualitas dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara, karena relevan dengan masif dan maraknya radikalisme dan terorisme yang notabene sebagai wujud dari perang asimetris tadi. Hal tersebut adalah cermnin krisis spiritualitas, dimana mereka lebih menonjolkan aspek ritualitas dan simbol-simbol serta identitas formal keagamaan, tapi lemah di bidang spirtual, ahlak, budi pekerti dan kerohanian.

Fenomena Ancaman Perang asimetris ini sudah berjalan lama pasca perang dunia kedua, karena konsep kolonialisme sudah ditinggalkan. Mereka bergerak menuju sebuah konsep yang lebih ekonomis, dengan dampak keuntungan yang luar biasa besar. Faktor utamanya adalah ekonomi. Konsep penjajahan yang dulu dilakukan, sekarang digeser menjadi penjajahan gaya baru tersebut. Pergerakan Perang Asimetris ini meluas menjadi Transnasional.

Indonesia sebagai negara yang sangat kaya sumber daya, letak strtaegis, sehingga sangat sexy untuk dijajah bukan dalam bentuk kolonialisme, melainkan dalam bentuk New Colonialism, yaitu Perang Asimetris atau Perang Proxy. Kalau sudah diadu domba, misalnya dengan Transnasional seperti Khilafah, jangankan masyarakat Non-muslim, masyarakat beragama Islampun akan resisten. Akhirnya yang terjadi adalah konflik dan kegaduhan. Maka bangsa kita tidak lagi membangun secara mandiri, sehingga terjadi ketergantungan terhadap negari adi daya atau aktor perang asimetris ini akan menjadi semakin tinggi.

“Radikalisme dan Terorisme yang mengatasnamakan agama sejatinya adalah fitnah bagi agama dan negara. Bisa kita lihat dari berbagai sumber, misanya Ikhwanul Muslimin, pusatnya di Inggris, Wahabi Salafi, pusatnya di Arab Saudi, tapi mentornya adalah Hempher, agen Intelijen Inggris MI-6, kemudian Hizbut Tahrir, pusatnya ada di London, dan lain-lain, jadi silahkan simpulkan sendiri. Ini adalah Geopolitik Global” Tandas Brigjen Ahmad Nurwakhid.

Dampak dari New Colonialism ini Terorisme yang dijiwai paham radikalisme, apapun bentuknya, apakah itu Terorisme yang mengatasnamakan Agama, atau Teroris Separatis, itu sejatinya adalah Proxy, wujud dari Perang Asimetris, atau Perang Intelijen. Maka siapapun yang intelijennya kuat, maka akan memenangkan Perang tersebut.” Pungkas Gus Jendral.

Kemudian di sesi berikutnya, Ruly Rahadian sebagai pemerhati Perang Asimetris menjelaskan bahwa kondisi yang sedang dihadapi oleh bangsa ini adalah tanggung jawab kita bersama. Paling tidak masyarakat ikut berkontribusi dalam bentuk pemikiran, atau informasi kepada para stake holder yang berhubungan langsung dengan upaya untuk menghadapi Perang Asimetris, lebih spesifik lagi yang berkaitan dengan Radikalisme dan Terorisme.

“Banyak sekali anak baik-baik tapi mereka menjadi para pelaku teror yang berbuat ekstrim diluar nalar kita.” Ujar Ruly mengawali sesi kedua tersebut.

Menurut Ruly berdasarkan analisa ilmiah, di otak manusia terdapat pola pikir atau mindset, yang sudah tertanam sejak kecil, disebut sebagai Fixed Mindset, yang bersifat tetap, dan mempunyai nilai-nilai ideal sesuai dengan pola ajar sejak usia dini hingga mampu berpikir secara kritis.

“Para aktor Perang Asimetris tersebut menggunakan sebuah cara konsep Growth Mindset, atau mindset yang berkembang sehingga terbentuknya mindset ini menjadi sebuah keyakinan. Bahwa nilai-nilai dasar yang sifatnya statis itu bisa dirubah, dikembangkan menjadi nilai-nilai baru.”

Ruly juga menjelaskan, dalam struktur otak manusia terdapat pikiran sadar dan neocortex, yaitu tempat pengetahuan berproses. Cara menyerap informasi neocortex berbeda dengan limbic. Maka tak heran orang yang telah teradikalisasi sulit diubah dengan pendekatan kata-kata yang rasional. Perlu diperhatikan, sistem limbic mendukung berbagai fungsi seperti emosi, perilaku, motivasi dan memori jangka panjang.

Pikiran sadar inilah yang kita gunakan dalam mengidentifikasi informasi yang masuk melalui panca indera, membandingkan sesuatu, menilai, menimbang, menganalisa dan mengambil keputusan. Pikiran sadar berhubungan dengan belahan otak sebelah kiri yang bersifat verbal, logis, dan analitis.

Pikiran bawah sadar dan limbic bersangkut paut dengan keyakinan dan iman yang tertanam dalam diri manusia. Di dalamnya berproses perasaan/emosi seseorang. Dalam limbic, religiositas seseorang bertumbuh. Pikiran bawah sadar terhubung dengan belahan otak sebelah kanan yang bersifat non verbal, gestalt, dan intuitif.

Proses radikalisasi terjadi pada otak limbic, bahkan menyelusup hingga reptilian brain. Otak limbic tempat emosi berada. Kebencian, kemarahan, ketakutan, dan kepuasan terletak di limbic. Sedangkan Reptilian brain bertanggung jawab atas hal-hal dasar yang mencakup rasa lapar, kontrol suhu, respon atas rasa takut, mempertahankan wilayah, dan menjaga keamanan.

“Reptil itu sama. Jadi reptil itu tidak punya otak yang sama dengan mamalia atau manusia. Jika mendapat serangan, mereka bereaksi secara ekstrim. Seperti ular, langsung menyerang, sama dengan buaya. Jadi kalau kita samakan, otak orang yang terpapar radikalisme, sama dengan otak reptil.” Tegas Ruly.

Banyak kaum radikal menggunakan dan memanfaatkan pengetahuan ini dalam merekrut pengikutnya, karena cara ini dirasa cukup efektif dan efisien, serta dilakukan dalam waktu pencapaian yang relatif cepat.

“Mereka yang sudah terpapar Radikalisme itu juga tidak memiliki rasa malu lagi karena pikiran mereka sudah dibutakan doktrin-doktrin yang tertanam. Kita bisa lihat ketika mereka diwawancara, mereka malah menantang, dan mata mereka liar, seperti mata reptil, kalau kita lihat mata ular, mata buaya, seperti itu.” Imbuh Ruly menegaskan.

Ruly juga mengonfirmasi Brigjen Ahmad Nurwakhid, sesuai data yang diketahuinya, BNPT mengkategori yang menjadi korban dari paparan Radikalisme dari Kelompok Teroris adalah warga negara yang berusia 17-24 tahun.

“Sarana yang paling efektif adalah medsos, karena anak-anak muda itu tidak berpikir kritis. Jadi biasanya mereka yang terpapar itu adalah anak-anak muda yang tidak berpikir kritis. Hanya menyerap, tidak mengolah lagi dari pola pikirnya.” Imbuh Ruly menjelaskan.

Salah satu penyebabnya adalah, kebiasaan anak muda sekarang, atau generasi millenial ini sangat kurang pemahaman literasinya. Mereka rata-rata malas membaca buku, karena sangat mudah mencari informasi, lewat google misalnya. Jadi secara rata-rata, kemampuan berpikir kritis mereka kurang. Pola seperti inilah yang menjadi sasaran empuk para Aktor Perang Asimetris, terkait dengan Radikalisme dalam membentuk teroris-teroris baru.

“Bahkan sekarang ada istilah Ustadz YouTube, yang belajar agama dari YouTube, belajar dari YouTube sudah jadi Ustadz, ini sangat bahaya. Semua ilmu ada di YouTube, tapi masalahnya apakah ilmu itu benar? Apakah secara metodologi benar?” Tegas Ruly lagi.

Kekhawatiran Ruly memang beralasan, karena sekarang banyak orang yang belajar agama dari YouTube, bahkan sudah berani mengklaim dirinya Ustadz tanpa pemahaman yang mendalam, jam terbang yang sangat rendah, serta tingkat pemahamanan literasi yang sangat meragukan.

“Ada juga materi-materi yang merusak fixed mindset mereka itu biasanya menggunakan konsep propaganda yang umumnya menggunakan narasi-narasi yang sifatnya ketidak adilan, kemudian dari kasus yang ekstrim itu jihad, atau dibawa kedalam narasi kezaliman pemerintah, thagut. Simbol-simbol itulah yang sangat mudah dibentuk dan dimasukan ke dalam pola pikir anak-anak muda yang sangat rentan, karena mereka tidak mempunyai kemampuan yang analitis. Mereka tidak kritis berpikirnya. Ini yang bahaya.” Jelas Ruly.

Ruly menjelaskan, bahwa pola pikir yang dibuat para aktor radikalisme inilah yang harus dibuat kontranya, sehingga kita mampu mengantisipasi dan menggunakan konsep yang mereka gunakan secara radikal, justru untuk membangun pola pikir agar mereka menjadi pemuda yang cinta kepada sesama manusia, cinta kepada bangsa dan negaranya, serta meyakini Pancasila adalah ideologinya, melalui metoda menanamkan keyakinan tersebut ke dalam susunan otak agar menetap di dalam limbicnya. Bukan di Reptilian Brain seperti yang dilakukan oleh para Radikalis dan Teroris.

“Alangkah ideal, justru ketika orang asing melihat Pancasila itu merupakan ancaman buat mereka.” Pungkas Ruly.

Hal senada diungkapkan dua narasumber ini sebagai closing statement yang menjadi akhir dan penutup Webinar yang menarik ini, yaitu; Perang Asimetris yang terus akan berlangsung ini adalah musuh kita bersama, terutama bagi bangsa Indonesia. Untuk itu menjadi tanggung jawab bersama yang melibatkan seluruh bangsa. Kita harus segara merubah pola pikir kita, aktif dalam mendiseminasikan pemahaman Perang Asimteris khususnya untuk anak muda melalui medsos, dan membuat kontra dari para aktor yang sudah lama bergerak melalu medsos, kemudian memperjuangkan legalitas atau aturan hukum negara terkait Radikalisme dan Terorisme, sehingga menjamin Ketahanan Nasional yang prima, ulet dan tangguh, serta mampu memberantas semua ideologi yang bertentangan dengan Pancasila. (Red)

Tinggalkan Balasan